Dzun Nun Al-Mishri
Dzun Nun Al-Mishri
Namanya Abul Faidh Dzun
Nun Tsauban bin Ibrahim Al-Mishri, wafat pada tahun 245 H/859 M.
ayahnya berasal dari Naubi (Sebuah Negara di
Timur Laut Afrika, berbatasan dengan Mesir dan Lauut Merah, Padang Libia dan
Khortum.). dia seorang yang sangat terhormat, paling alim, wara’,
kaharismatik dan sastrawan di masanya. Orang-orang menfitnahnya kepada Khalifah Al-Mutawakkil sehingga dia
dipanggilnya dari Mesir. Ketika Dzun Nun
datang dan memberi nasehat kepadanya, Al-Mutawakkil
pun menangis dan berbalik menghormatinya ketika pulang ke Mesir. Al-Mutawakkil jika dituturkan di
hadapannya seorang ahli wara’, ia pun menangis. Dikatakan bahwa ketika
dituturkan seorang ahli wara’, ia mengucapkan Laa haula wa laa quwwata illaa billaah
kepada Dzun Nun. Dzun Nun adalah
seorang yang kurus berkulit putih kemerahan dan tidak berjenggot putih.
Di
antara mutiara nasehatnya:
1. Putaran pembicaraan
berkisar empat hal: Mencintai Yang Maha Agung, tidak suka sedikit ibadah,
mengikuti Al-Quran dan takut
berubah.
2. Di antara
tanda-tanda orang yang cinta Allah
adalah mengikuti kekasih-Nya dalam
perilaku, perbuatan, perintah-perintah, dan sunnah-sunnahnya.
3. Dia pernah
ditanya tentang orang hina, lalu dijawab, “Orang hina adalah orang yang tidak tahu jalan kepada
Allah dan tidak mau mempelajarinya.”
Al-Maghribi pernah datang
kepada Dzun
Nun dan bertanya:
“Wahai
Abul Faidh, apa sebab tobatmu?”
“Mengherankan,
kamu tidak mempercayainya?!”
“Demi
Tuhanmu yang engkau sembah, beritahulah saya!”
“Suatu
hari saya ingin keluar dari Mesir menuju suatu desa,” jelas Dzun Nun
seraya mengisahkan perjalanan sufinya. “Ketika melewati padang sahara, saya tidur disebuah
jalan. Saat mata saya terbuka, tiba-tiba ada anak burung kecil yang buta
terjatuh dari sarangnya ke tanah dan bumi terbelah menjadi dua. Dari celah bumi
itu keluar dua buah piring emas dan perak. Di piring yang satu terdapat buah
bijian dan satunya berisi air, maka burung itu pun makan dan minum dari piring
itu. Kataku, ‘Cukup Ya Allah, saya telah
bertobat.’ Semenjak itu saya selalu mengetuk
pintu Allah sampai diterima tobat
saya.”
Katanya lagi, “Al-Hikmah tidak
akan tinggal pada seseorang yang perut besarnya terisi dengan penuh makanan.”
Pernah juga dia ditanya tentang tobat, lalu dijawab, “Tobat orang awam dari perbuatan dosa,
sedangkan tobat orang khusus dari kelengahan.”
Al-Qabdhu dan Al-Basthu
Dua istilah tersebut
merupakan dua keadaan (hal) setelah seorang hamba terjauhkan (telah
melampaui dalam pendakiannya) dari dua keadaan (hal) yang lain, yaitu khauf (rasa takut)
dan raja’
(harapan). Al-Qabdhu (tercekam yang melebihi ketakutan
seorang hamba membuat dirinya seolah-olah “tergenggam”
dalam bayangan kebesaran dan ancaman Allah) bagi seorang yang talah mencapai
derajat ma’rifat
(al-‘arif), kedudukannya sama dengan al-khauf bagi seorang musta’rif
(pemula, yaitu istilah bagi seorang hamba
yang baru menjalani laku batin atau memasuki dunia sufi atau thariqah).
Begitu juga dengan al-basthu bagi al-‘arif kedudukannya sederajat dengan ar-raja’
bagi al-musta’rif.
Adapun perbedaan antara al-qabdhu
dan al-basthu
dengan al-khauf
dan ar-raja’
terletak pada tingkat kualitas dan kuantitas pendakian seorang hamba dalam
pencapaian derajat ma’rifatullah. Al-khauf merupakan sesuatu yang hanya terjadi di
masa yang akan datang. Mungkin ketakutannya (al-khauf) itu berupa kekhawatiran
akan kehilangan sesuatu yang dicintainya atau kehadiran sesuatu yang
ditakutinya. Demikian pula dengan ar-raja’, kejadiannya berupa keinginan (cita-cita)
akan terwujudnya sesuatu yang dicintainya (diharapkannya) atau mewaspadai
(dengan harapan) hilangnya sesuatu yang dibenci dan keterpeliharaan al-musta’rif
dari yang dibencinya.
Sedangkan al-qabdhu
merupakan makna atau nilai spiritual yang terjadi pada saat kejadiannya (bukan
masa yang akan datang dan lampau, tapi sekarang, yaitu saat sesuatu itu
terjadi) itu berlangsung. Hal itu juga berlaku pada al-basthu. Orang ang mengalami al-khauf
dan ar-raja’,
hatinya akan selalu bergantung dalam dua keadaan pada sesuatu yang akan terjadi
atau yang dimaksudkannya. Sedangkan orang yang mengalami al-qabdhu dan al-basthu, waktunya diambil dengan
kehadiran al-warid
(yaitu, sesuatu yang datang atau
kehadiran suasana batin yang mendominasi jiwa seseorang, seperti rasa al-qabdhu
dan al-basthu itu sendiri). Dalam proses berikutnya, sifat-sifat orang yang
mengalami al-qabdhu
dan al-basthu berbeda-beda menurut
perbedaannya dalam al-hal. Barangsiapa yang kehadiran al-warid,
maka dia diwajibkan menjadi genggaman, namun masih tetap terbenam pada sesuatu
yang lain, karena dia belum memenuhinya, sementara orang yang terkondisikan
dalam genggaman ( tercekam dalam ketakutan yang sangat karena Allah), maka dia tidak terbenam
(terpengaruh) pada selain yang “hadir” (al-warid)
dalam hatinya, karena keseluruhan dirinya sudah terambil (terkuasai) dengan
kehadiran yang “hadir” (berupa rasa
ketakutan atau al-qabdhu
yang menguasai jiwa seseorang secara total membuatnya tak terpengaruh dengan
ketakutan bentuk lain selain Allah, sehingga dirinya sepenuhnya terkuasai oleh
sifat “Qabidh”-Nya, yaitu Sang
Penggenggam).
Demikian pula dengan hamba
yang terlapangkan (al-mabsuth). Dalam kondisi demikian, kelapangan
atau kegembiraan yang memperluas atau melapangkan kemakhlukannya tidak
membuatnya merasa jijik pada sesuatu (di matanya segalanya terasa lapang dan
menyenangkan). Hamba yang mabsuth tidak akan terpengaruh oleh sesuatu yang
berkaitan dengan hal
(keadaan yang mengkondisikan suasana batinnya).
Saya pernah mendengar Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Sejumlah orang
pernah mengunjungi Ali Abu Bakar
Al-Qahthi, seorang ulama sufi yang zahid. Dia mempunyai seorang anak
laki-laki yang mengambil sesuatu yang biasa diambil anak-anak (berupa sesuatu
yang jelek tapi halal). Anak ini sedang berada di pintu masuk. Ketika dia
tenggelam dalam permainan bersama kawan-kawannya, pengunjung tersebut terenyuh
dan perihatin melihat keadaan Al-Qahthi,
lalu bergumam, ‘Miskin… Guru ini benar-benar miskin. Bagaimana dia sampai
tega menguji anaknya dengan sesuatu yang jelek (menyakitkan dan berat).’ Begitu masuk di kediaman Al-Qahthi, pengunjung itu tidak menemukan satu pun alat penghibur
(sarana dan fasilitas hidup) di dalamnya, sehingga membuatnya tambah heran dan
berkata, ‘Sungguh aku menjadikan diriku sebagai tebusan bagi orang (Al-Qahthi) yang gunung pun tidak akan
mampu mempengaruhi.’ Kemudian Al-Qahthi menjawab, ‘Sesungguhnya kami dalam kehanyutan beribadah telah
dibebaskan dari belenggu (ketergantungan hati) sesuatu.’”
Di antara unsur-unsur
terdekat yang mengharuskan kehadiran suasana al-qabdhu adalah kehadiran al-warid
(mungkin berupa kesadaran emosi keagamaan atau suasana batin yang menyiratkan
kesan makna khauf,
segan dan tercekam terhadap Allah) pada hati seorang hamba yang memunculkan
isyarat kecaman (teguran dan kritikan terhadap diri sendiri dalam rangka
penyempurnaan kehidupan keagamaannya) atau lambang (isyarat perbaikan moral)
kritikan diri yang melangkah pada perbaikan diri hamba, sehingga dalam hati
tidak terjadi lagi keharusan al-qabdhu (mengalami peningkatan maqam
setelah al-qabdhu).
Kadang-kadang beberapa al-warid
yang mengharuskan kehadiran isyarat (makna atau dorongan) pendekatan diri pada
Allah, atau kelembutan (kepekaan) rasa dan kelapangan dapat memunculkan
terjadinya al-basthu
(kelapangan) dalam hati. Karena itu, dalam rantau kesatuan rasa, kehadiran al-qabdhu
bagi setiap hamba terjadi menurut sifat al-basthu’nya, begitu juga dengan al-basthu,
kehadirannya tergantung al-qabdhu.
Terkadang pula al-qabdhu
yang terbentuk berdasarkan suatu sebab, oleh pemiliknya (salik yang mengalaminya) tidak
diketahui apa bentuk sebab dan yang mewajibkannya (kehadiran al-qabdhu).
Maka, bagi salik
yang mengalami semacam ini seharusnya bersikap pasrah pada keadaan (membiarkan
rasa al-qabdhu
mengkondisikan hatinya) hingga waktu berlalu. Karena jika dia memaksa untuk
menghilangkannya atau melompati waktu (berpindah pada maqam berikutnya, sementara maqam
yang sedang terjadi belum terkuasainya) sebelum kehancuran al-qabdhu dengan penentuan alternatif
yang dikehendakinya sendiri, maka rasa al-qabdhu semakin bertambah. Bahkan, sikap
pemaksaan semacam ini termasuk etika sufi yang buruk. Sebaliknya, jika dia
pasrah pada hukum waktu, maka secara pelan dan pasti al-qabdhu itu akan hilang karena Allah telah berjanji dalam firman-Nya:
“Dan,
Allah Dzat Yang Menggenggam (Al-Qabidh), dan Yang Melapangkan (Al-Basith).
Hanya kepada-Nya kalian akan dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah:245)
Maqam al-basthu seringkali datang
secara tiba-tiba dan spontan.dia datang dan menubruk salik secara tak terduga sehigga
tidak diketahui apa sebabnya. Dia bergerak, menguasai dan memberi inspirasi salik
yang didatanginya. Karena itu, bagi salik yang mengalami semacam ini sebaiknya diam
dan menjaga serta meniti-niti perilaku batinnya (juga zhahirnya). Pada saat demikian dia
mengalami goncangan batin dan kekhawatiran yang sangat besar. Karena itu,
ajaran sufi mengajarkannya supaya hati-hati dan waspada pada tipudaya (hati
atau rasa) yang halus dan samar, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh
segolongan kaum sufi, “Telah dibukakan padaku pintu al-qabdhu, lalu aku
tergelincir pada kekeliruan sehingga menutupi maqamku. Karena itu, diamlah di maqam al-bisath dan
waspadailah kegembiraan yang meluap (tak terkontrol)”
Ahli hakikat
mengategorikan dua keadaan, al-qabdhu dan al-basthu sebagai bentuk gangguan (proses
penyucian diri yang mesti dilalui) yang dimohonkan kepada Allah supaya
dilindungi dari bahaya keduanya. Karena, keduanya bersandar pada apa yang di
atasnya (proses kelanjutannya) berupa leburnya diri salik dan masuk dalam alam hakikat
yang penuh krisis dan bahaya (tipudaya hati yang amat lembut).
Imam Al-Junaid berkata, “Al-khauf yang hadir dari
Allah menggenggamku dalam ketercekaman dan ar-raja’ dari-Nya melapangkanku (khauf menjadikan al-qabdhu dan raja’ membentuk al-basthu).
Sedangkan hakikat mengumpulkan aku (penyatuan diri), dan Al-Haqq memisahkanku (basthu) dengan raja’ (berharap karena-Nya), maka Dia menolakku
(melemparkanku) kepadaku. Jika Dia
mengumpulkan dengan hakikat, maka Dia
menghadirkanku (menghadiriku). Dan jika Dia
memisahkanu dengan Al-Haqq (kebenaran Tuhan adalah Tuhan sendiri), maka Dia mempersaksikanku pada selainku
sehingga menutupiku. Dia adalah Allah Dzat Yang Maha Luhur, Tuhan dalam
segala hal yang menjadi Penggerakku tanpa memegangiku, juga mampu berbuat kasar
kepadaku tanpa berjinak-jinak. Saya dengan kehadiranku merupakan
selezat-lezatnya makanan akan keberadaanku. Maka kelenyapanku dariku akan
menjadikan kenikmatanku dan kesirnaanku menjadikan kelegaanku.”
Ø
Waktu
Ø
Al-Maqam
Ø
Al-Hal
Ø
Nafas
Ø
Warid
Ø
Nafsu
Ø
Ruh
Ø
Sirri
Al-Hal
Al-Hal
Al-Hal atau Hal (keadaan)
menurut kaum sufi adalah makna, nilai atau rasa yang hadir dalam hati secara
otomatis, tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan dan pemaksaan, seperti rasa
gembira, sedih, lapang, sempit, rindu, gelisah, takut, gemetar dan
lain-lainnya. Keadaan-keadaan tersebut merupakan pemberian, sedangkan maqam
adalah hasil usaha. Hal (keadaan) datang dari Yang Ada dengan
sendirinya, sementara maqam terjadi karena pencurahan perjuangan yang
terus-menerus, pemilik maqam memungkinkan menduduki maqamnya secara konstan, sementara
pemilik hal sering mengalami naik-turun (berubah-ubah) keadaan hatinya.
Salah seorang guru sufi
berkata, “Hal
ibarat kilat, jika hal itu tetap, maka dia menjadi suara hati.”
Para guru sufi menyatakan
bahwa hal,
sebagaimana namanya, menunjukkan arti tentang sesuatu (rasa, nilai, getaran)
yang menguasai hati kemudian hilang.
Seandainya hal tidak menguasai hati
Maka dia tidak dinamakan hal
Setiap yang bersifat keadaan (hal)
Maka dia pasti hilang (bergeser)
Lihatlah bayang-bayang
Ketika sesuatu berhenti
Dia selalu menjadikannya berkurang
Ketika sesuatu itu memanjang
Sementara kaum lain memberi
isyarat tentang ketetapan dan kestabilan hal. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya hal ketika tidak
bersifat tetap dan berturut-turut, maka dia disebut kilasan cahaya. Pemiliknya tidak
sampai pada hal. Ketika sifat
itu menjadi kesenantiasaan, maka dia dinamakan hal.”
Sedangkan Abu Ustman Al-Hiri berpendapat bahwa
apa yang didirikan Allah kepadaku
dalam suatu hal, lalu aku tidak menyukainya, maka itu menunjukkan adanya
kesenantiasaan ridha, sementara ridha termasuk jumlah hal.
Dalam hal ini perlu
dikatakan adalah seseorang yang apabila menunjukkan adanya ketetapan hal,
maka benar apa yang dikatakannya, maknanya (kandungan hal) menjadi “minuman”-nya
sehingga dia terdidik dalam makna tersebut. Namun, bagi pemiliknya, hal
itu justru merupakan cobaan yang tidak konstan, di mana pelampauannya itu akan
menjadikan hal
sebagai minumannya (tidak lagi bersifat
cobaan, tapi pakaian atau sifat). Jika beberapa hal tersebut masih tetap
merupakan cobaan, maka pemilik hal akan terus mendaki ke tingkat beberapa hal
lain yang lebih halus, sehingga dia akan selalu dalam proses pendakian.
Ø
Waktu
Ø
Al-Maqam
Ø
Al-Hal
Ø
Nafas
Ø
Warid
Ø
Nafsu
Ø
Ruh
Ø
Sirri
Subscribe to:
Posts (Atom)
"Kami telah siap melayani anda di Seluruh Indonesia"
|
|||