Al-Husin bin Yazdaniar

Muhammad A-Warraq

Muhammad Al-Wasithi

Ahmad An-Nuri

Ishaq An-Nahrajuri

Ibrahim bin An-Nashr Abadzi

Ja’far bin Nashr

Khair An-Nassaj

Askar An-Nakhsyabi

Ismail bin Najid

Abdullah bin Munazil

Amr Al-Makki

Muhammad Al-Maghribi

Sa’id Al-Maghribi

Dzun Nun Al-Mishri

Dzun Nun Al-Mishri
   Namanya Abul Faidh Dzun Nun Tsauban bin Ibrahim Al-Mishri, wafat pada tahun 245 H/859 M. ayahnya berasal dari Naubi (Sebuah Negara di Timur Laut Afrika, berbatasan dengan Mesir dan Lauut Merah, Padang Libia dan Khortum.). dia seorang yang sangat terhormat, paling alim, wara’, kaharismatik dan sastrawan di masanya. Orang-orang menfitnahnya kepada Khalifah Al-Mutawakkil sehingga dia dipanggilnya dari Mesir. Ketika Dzun Nun datang dan memberi nasehat kepadanya, Al-Mutawakkil pun menangis dan berbalik menghormatinya ketika pulang ke Mesir. Al-Mutawakkil jika dituturkan di hadapannya seorang ahli wara’, ia pun menangis. Dikatakan bahwa ketika dituturkan seorang ahli wara’, ia mengucapkan Laa haula wa laa quwwata illaa billaah kepada Dzun Nun. Dzun Nun adalah seorang yang kurus berkulit putih kemerahan dan tidak berjenggot putih.
   Di antara mutiara nasehatnya:
1.      Putaran pembicaraan berkisar empat hal: Mencintai Yang Maha Agung, tidak suka sedikit ibadah, mengikuti Al-Quran dan takut berubah.
2.      Di antara tanda-tanda orang yang cinta Allah adalah mengikuti kekasih-Nya dalam perilaku, perbuatan, perintah-perintah, dan sunnah-sunnahnya.
3.      Dia pernah ditanya tentang orang hina, lalu dijawab, “Orang hina adalah orang yang tidak tahu jalan kepada Allah dan tidak mau mempelajarinya.”
Al-Maghribi pernah datang kepada Dzun Nun dan bertanya:
“Wahai Abul Faidh, apa sebab tobatmu?”
“Mengherankan, kamu tidak mempercayainya?!”
“Demi Tuhanmu yang engkau sembah, beritahulah saya!”
“Suatu hari saya ingin keluar dari Mesir menuju suatu desa,” jelas Dzun Nun seraya mengisahkan perjalanan sufinya. “Ketika melewati padang sahara, saya tidur disebuah jalan. Saat mata saya terbuka, tiba-tiba ada anak burung kecil yang buta terjatuh dari sarangnya ke tanah dan bumi terbelah menjadi dua. Dari celah bumi itu keluar dua buah piring emas dan perak. Di piring yang satu terdapat buah bijian dan satunya berisi air, maka burung itu pun makan dan minum dari piring itu. Kataku, ‘Cukup Ya Allah, saya telah bertobat.’ Semenjak itu saya selalu mengetuk pintu Allah sampai diterima tobat saya.”


   Katanya lagi, “Al-Hikmah tidak akan tinggal pada seseorang yang perut besarnya terisi dengan penuh makanan.” Pernah juga dia ditanya tentang tobat, lalu dijawab, “Tobat orang awam dari perbuatan dosa, sedangkan tobat orang khusus dari kelengahan.”

Ahmad bin Masruq

Ali Al-Muzayyin

Abdullah Al-Murta’isi

Al-Junaid bin Muhammad

Al-Haris Al-Muhasibi

Syah Al-Karmani

Ma’ruf Al-Karkhi

Muhammad Al-Kattani

Abu Ali bin Al-Katib

Hamdun Al-Qashshar

Mudzaffar Al-Qaramsini

Ibrahim Al-Qaramsini

Al-Fudhail bin Iyadh

Manshur bin Ammar

Abu Bakar Ath-Thamastani

Dawud Ath-Thai

Abul Hasan Asy-Saigh

Muhammad bin Khafif Asy-Syairazi

Bandar Asy-Syairazi

Dalf Asy-Syibli

Abul Abbas As-Sayyari

Sariy As-Saqthi

Abu Bakar Az-Zaqqaq

Muhammad Az-Zujjaji

Ahmad bin Muhammad Ar-Rudzabari

Ahmad bin Atha’ Ar-Rudzabari

Ibrahim Ar-Raqqi

Yusuf bin Al-Husin Ar-Razi

Yahya bin Mu’adz Ar-Razi

Abdullah Ar-Razi

Mimsyad Ad-Dinawari

Ahmad Ad-Dinawari

Muhammad Ad-Daqqi

Abdurrahman Ad-Darani

Ibrahim Al-Khawwash

Ahmad bin Abul Hawari

Ahmad bin Khadrawaih

Abu Hamzah Al-Khurasani

Abdullah Al-Kharraz

Ahmad Al-Kharraz

Abdullah bin Khubaiq

Sa’id Al-Hiri

Sumnun bin Hamzah

Ali Al-Hushri

Umar Al-Haddad

Bisyr Al-Hafi

Bunan Al-Jamal

Ahmad Al-Jalla

Ahmad Al-Jariri

Muhammad Ats-Tsaqafi

Sahal At-Tustari

Muhammad At-Turmudzi

Ali Al-Busyanji

Abul Husin bin Bunan

Muhammad bin AL-Fadhal Al-Balkhi

Syaqiq Al-Balkhi

Abu Yazid Al-Busthami

Abu Ubaid Al-Bisri

Abu Hamzah Al-Bazzar

Ahmad Al-Anthaki

Abul Khair Al-Aqtha’

Abu Sa’id bin Al-A’rabi

Hatim Al-Asham

Ali Al-Ashbihani

Ibrahim bin Adam

Ahmad Al-Adami

Ruwaim bin Ahmad

Abdullah Al-Abhari

TOKOH-TOKOH SUFI DAN MUTIARA HIKMAHNYA

Wasiat untuk Para Murid

Mimpi

Urgenitas Wali dan Kewalian

Berbagai Karamah dari Al-Qur’an dan As-Sunnah

Karamah Para Wali

KONDISI ROHANI DAN KARAMAH

Mendengar

Menjaga Hati Para Guru

Rindu

Cinta (mahabbah)

Ma’rifat kepada Allah

Keluar dari Dunia (Kematian)

Tauhid

Persahabatan

Musafir

Kesopanan

Tasawuf

Kemiskinan

Doa

Wali

Cemburu

Dermawan dan Murah Hati

Akhlak

Firasat

Prawira

Zikir

Kemerdekaan

Malu

Shidiq

Ikhlash

Istiqamah

Iradah

‘Ubudiayah

Rida

Al-Muraqabah

Sabar

Yakin

Syukur

Tawakal

Qana’ah

Mengumpat

Dengki dan Hasud

Menentang Nafsu

Khusyuk dan Tawaduk

Lapar dan Meninggalkan Syahwat

Duka Cita

Raja’

Takut

Diam

Zuhud

Wara’

Takwa

Khalwah dan ‘Uzlah

Mujahadah

Tobat

ULASAN TENTANG MAQAM-MAQAM ATAU TINGKAATAN JALAN PENDAKIAN PARA SALIK

Sirri

Ruh

Nafsu

Asy-Syahid

Warid

Ilmul Yaqin, ‘Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin

Al-Khawathir

Nafas

Syari’at dan Hakikat

Al-Qarbu dan Al-Bu’du

Talwan dan Tamkin

Bawadih dan Hujum

Lawaih, Thawali’ dan Lawami

Muhadharah, Mukasyafah dan Musyahadah

Sitru dan Tajalli

Mahwu dan Itbat

Dzauq dan Syarab

Shahwu dan Sukru

Ghaibah dan Hadhur

Fana’ dan Baqa’

Al-Jam’u dan Al-Farqu

At-Tawajud, Al-Wijdu, dan Al-Wujud


v  Waktu
v  Al-Hal
v  Nafas
v  Warid
v  Nafsu
v  Ruh

v  Sirri

Al-Haibah dan Al-Anasu


Al-Qabdhu dan Al-Basthu

   Dua istilah tersebut merupakan dua keadaan (hal) setelah seorang hamba terjauhkan (telah melampaui dalam pendakiannya) dari dua keadaan (hal) yang lain, yaitu khauf (rasa takut) dan raja’ (harapan). Al-Qabdhu (tercekam yang melebihi ketakutan seorang hamba membuat dirinya seolah-olah “tergenggam” dalam bayangan kebesaran dan ancaman Allah) bagi seorang yang talah mencapai derajat ma’rifat (al-‘arif), kedudukannya sama dengan al-khauf bagi seorang musta’rif (pemula, yaitu istilah bagi seorang hamba yang baru menjalani laku batin atau memasuki dunia sufi atau thariqah). Begitu juga dengan al-basthu bagi al-‘arif kedudukannya sederajat dengan ar-raja’ bagi al-musta’rif.
   Adapun perbedaan antara al-qabdhu dan al-basthu dengan al-khauf dan ar-raja’ terletak pada tingkat kualitas dan kuantitas pendakian seorang hamba dalam pencapaian derajat ma’rifatullah. Al-khauf merupakan sesuatu yang hanya terjadi di masa yang akan datang. Mungkin ketakutannya (al-khauf) itu berupa kekhawatiran akan kehilangan sesuatu yang dicintainya atau kehadiran sesuatu yang ditakutinya. Demikian pula dengan ar-raja’, kejadiannya berupa keinginan (cita-cita) akan terwujudnya sesuatu yang dicintainya (diharapkannya) atau mewaspadai (dengan harapan) hilangnya sesuatu yang dibenci dan keterpeliharaan al-musta’rif dari yang dibencinya.
   Sedangkan al-qabdhu merupakan makna atau nilai spiritual yang terjadi pada saat kejadiannya (bukan masa yang akan datang dan lampau, tapi sekarang, yaitu saat sesuatu itu terjadi) itu berlangsung. Hal itu juga berlaku pada al-basthu. Orang ang mengalami al-khauf dan ar-raja’, hatinya akan selalu bergantung dalam dua keadaan pada sesuatu yang akan terjadi atau yang dimaksudkannya. Sedangkan orang yang mengalami al-qabdhu dan al-basthu, waktunya diambil dengan kehadiran al-warid (yaitu, sesuatu yang datang atau kehadiran suasana batin yang mendominasi jiwa seseorang, seperti rasa al-qabdhu dan al-basthu itu sendiri). Dalam proses berikutnya, sifat-sifat orang yang mengalami al-qabdhu dan al-basthu berbeda-beda menurut perbedaannya dalam al-hal. Barangsiapa yang kehadiran al-warid, maka dia diwajibkan menjadi genggaman, namun masih tetap terbenam pada sesuatu yang lain, karena dia belum memenuhinya, sementara orang yang terkondisikan dalam genggaman ( tercekam dalam ketakutan yang sangat karena Allah), maka dia tidak terbenam (terpengaruh) pada selain yang “hadir” (al-warid) dalam hatinya, karena keseluruhan dirinya sudah terambil (terkuasai) dengan kehadiran yang “hadir” (berupa rasa ketakutan atau al-qabdhu yang menguasai jiwa seseorang secara total membuatnya tak terpengaruh dengan ketakutan bentuk lain selain Allah, sehingga dirinya sepenuhnya terkuasai oleh sifat “Qabidh”-Nya, yaitu Sang Penggenggam).
   Demikian pula dengan hamba yang terlapangkan (al-mabsuth). Dalam kondisi demikian, kelapangan atau kegembiraan yang memperluas atau melapangkan kemakhlukannya tidak membuatnya merasa jijik pada sesuatu (di matanya segalanya terasa lapang dan menyenangkan). Hamba yang mabsuth tidak akan terpengaruh oleh sesuatu yang berkaitan dengan hal (keadaan yang mengkondisikan suasana batinnya).

   Saya pernah mendengar Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Sejumlah orang pernah mengunjungi Ali Abu Bakar Al-Qahthi, seorang ulama sufi yang zahid. Dia mempunyai seorang anak laki-laki yang mengambil sesuatu yang biasa diambil anak-anak (berupa sesuatu yang jelek tapi halal). Anak ini sedang berada di pintu masuk. Ketika dia tenggelam dalam permainan bersama kawan-kawannya, pengunjung tersebut terenyuh dan perihatin melihat keadaan Al-Qahthi, lalu bergumam, ‘Miskin… Guru ini benar-benar miskin. Bagaimana dia sampai tega menguji anaknya dengan sesuatu yang jelek (menyakitkan dan berat).’ Begitu masuk di kediaman Al-Qahthi, pengunjung itu tidak menemukan satu pun alat penghibur (sarana dan fasilitas hidup) di dalamnya, sehingga membuatnya tambah heran dan berkata, ‘Sungguh aku menjadikan diriku sebagai tebusan bagi orang (Al-Qahthi) yang gunung pun tidak akan mampu mempengaruhi.’ Kemudian Al-Qahthi menjawab, ‘Sesungguhnya kami dalam kehanyutan beribadah telah dibebaskan dari belenggu (ketergantungan hati) sesuatu.’
   Di antara unsur-unsur terdekat yang mengharuskan kehadiran suasana al-qabdhu adalah kehadiran al-warid (mungkin berupa kesadaran emosi keagamaan atau suasana batin yang menyiratkan kesan makna khauf, segan dan tercekam terhadap Allah) pada hati seorang hamba yang memunculkan isyarat kecaman (teguran dan kritikan terhadap diri sendiri dalam rangka penyempurnaan kehidupan keagamaannya) atau lambang (isyarat perbaikan moral) kritikan diri yang melangkah pada perbaikan diri hamba, sehingga dalam hati tidak terjadi lagi keharusan al-qabdhu (mengalami peningkatan maqam setelah al-qabdhu).

   Kadang-kadang beberapa al-warid yang mengharuskan kehadiran isyarat (makna atau dorongan) pendekatan diri pada Allah, atau kelembutan (kepekaan) rasa dan kelapangan dapat memunculkan terjadinya al-basthu (kelapangan) dalam hati. Karena itu, dalam rantau kesatuan rasa, kehadiran al-qabdhu bagi setiap hamba terjadi menurut sifat al-basthu’nya, begitu juga dengan al-basthu, kehadirannya tergantung al-qabdhu.
   Terkadang pula al-qabdhu yang terbentuk berdasarkan suatu sebab, oleh pemiliknya (salik yang mengalaminya) tidak diketahui apa bentuk sebab dan yang mewajibkannya (kehadiran al-qabdhu). Maka, bagi salik yang mengalami semacam ini seharusnya bersikap pasrah pada keadaan (membiarkan rasa al-qabdhu mengkondisikan hatinya) hingga waktu berlalu. Karena jika dia memaksa untuk menghilangkannya atau melompati waktu (berpindah pada maqam berikutnya, sementara maqam yang sedang terjadi belum terkuasainya) sebelum kehancuran al-qabdhu dengan penentuan alternatif yang dikehendakinya sendiri, maka rasa al-qabdhu semakin bertambah. Bahkan, sikap pemaksaan semacam ini termasuk etika sufi yang buruk. Sebaliknya, jika dia pasrah pada hukum waktu, maka secara pelan dan pasti al-qabdhu itu akan hilang karena Allah telah berjanji dalam firman-Nya:
“Dan, Allah Dzat Yang Menggenggam (Al-Qabidh), dan Yang Melapangkan (Al-Basith). Hanya kepada-Nya kalian akan dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah:245)

   Maqam al-basthu seringkali datang secara tiba-tiba dan spontan.dia datang dan menubruk salik secara tak terduga sehigga tidak diketahui apa sebabnya. Dia bergerak, menguasai dan memberi inspirasi salik yang didatanginya. Karena itu, bagi salik yang mengalami semacam ini sebaiknya diam dan menjaga serta meniti-niti perilaku batinnya (juga zhahirnya). Pada saat demikian dia mengalami goncangan batin dan kekhawatiran yang sangat besar. Karena itu, ajaran sufi mengajarkannya supaya hati-hati dan waspada pada tipudaya (hati atau rasa) yang halus dan samar, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh segolongan kaum sufi, “Telah dibukakan padaku pintu al-qabdhu, lalu aku tergelincir pada kekeliruan sehingga menutupi maqamku. Karena itu, diamlah di maqam al-bisath dan waspadailah kegembiraan yang meluap (tak terkontrol)”
   Ahli hakikat mengategorikan dua keadaan, al-qabdhu dan al-basthu sebagai bentuk gangguan (proses penyucian diri yang mesti dilalui) yang dimohonkan kepada Allah supaya dilindungi dari bahaya keduanya. Karena, keduanya bersandar pada apa yang di atasnya (proses kelanjutannya) berupa leburnya diri salik dan masuk dalam alam hakikat yang penuh krisis dan bahaya (tipudaya hati yang amat lembut).

   Imam Al-Junaid berkata, Al-khauf yang hadir dari Allah menggenggamku dalam ketercekaman dan ar-raja’ dari-Nya melapangkanku (khauf menjadikan al-qabdhu dan raja’ membentuk al-basthu). Sedangkan hakikat mengumpulkan aku (penyatuan diri), dan Al-Haqq memisahkanku (basthu) dengan raja’ (berharap karena-Nya), maka Dia menolakku (melemparkanku) kepadaku. Jika Dia mengumpulkan dengan hakikat, maka Dia menghadirkanku (menghadiriku). Dan jika Dia memisahkanu dengan Al-Haqq (kebenaran Tuhan adalah Tuhan sendiri), maka Dia mempersaksikanku pada selainku sehingga menutupiku. Dia adalah Allah Dzat Yang Maha Luhur, Tuhan dalam segala hal yang menjadi Penggerakku tanpa memegangiku, juga mampu berbuat kasar kepadaku tanpa berjinak-jinak. Saya dengan kehadiranku merupakan selezat-lezatnya makanan akan keberadaanku. Maka kelenyapanku dariku akan menjadikan kenikmatanku dan kesirnaanku menjadikan kelegaanku.”

Ø  Waktu
Ø  Al-Maqam
Ø  Al-Hal
Ø  Nafas
Ø  Warid
Ø  Nafsu
Ø  Ruh
Ø  Sirri


Al-Hal

Al-Hal
   Al-Hal atau Hal (keadaan) menurut kaum sufi adalah makna, nilai atau rasa yang hadir dalam hati secara otomatis, tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan dan pemaksaan, seperti rasa gembira, sedih, lapang, sempit, rindu, gelisah, takut, gemetar dan lain-lainnya. Keadaan-keadaan tersebut merupakan pemberian, sedangkan maqam adalah hasil usaha. Hal (keadaan) datang dari Yang Ada dengan sendirinya, sementara maqam terjadi karena pencurahan perjuangan yang terus-menerus, pemilik maqam memungkinkan menduduki maqamnya secara konstan, sementara pemilik hal sering mengalami naik-turun (berubah-ubah) keadaan hatinya.
 
Ar-Risalatul Qusyairiyah fi 'Ilmit Tashawwuf
   Salah seorang guru sufi berkata, “Hal ibarat kilat, jika hal itu tetap, maka dia menjadi suara hati.”

   Para guru sufi menyatakan bahwa hal, sebagaimana namanya, menunjukkan arti tentang sesuatu (rasa, nilai, getaran) yang menguasai hati kemudian hilang.
Seandainya hal tidak menguasai hati
Maka dia tidak dinamakan hal
Setiap yang bersifat keadaan (hal)
Maka dia pasti hilang (bergeser)

Lihatlah bayang-bayang
Ketika sesuatu berhenti
Dia selalu menjadikannya berkurang
Ketika sesuatu itu memanjang

   Sementara kaum lain memberi isyarat tentang ketetapan dan kestabilan hal. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya hal ketika tidak bersifat tetap dan berturut-turut, maka dia disebut kilasan cahaya. Pemiliknya tidak sampai pada hal. Ketika sifat itu menjadi kesenantiasaan, maka dia dinamakan hal.”

   Sedangkan Abu Ustman Al-Hiri berpendapat bahwa apa yang didirikan Allah kepadaku dalam suatu hal, lalu aku tidak menyukainya, maka itu menunjukkan adanya kesenantiasaan ridha, sementara ridha termasuk jumlah hal.
   Dalam hal ini perlu dikatakan adalah seseorang yang apabila menunjukkan adanya ketetapan hal, maka benar apa yang dikatakannya, maknanya (kandungan hal) menjadi “minuman”-nya sehingga dia terdidik dalam makna tersebut. Namun, bagi pemiliknya, hal itu justru merupakan cobaan yang tidak konstan, di mana pelampauannya itu akan menjadikan hal sebagai minumannya (tidak lagi bersifat cobaan, tapi pakaian atau sifat). Jika beberapa hal tersebut masih tetap merupakan cobaan, maka pemilik hal akan terus mendaki ke tingkat beberapa hal lain yang lebih halus, sehingga dia akan selalu dalam proses pendakian.


Ø  Waktu
Ø  Al-Maqam
Ø  Al-Hal
Ø  Nafas
Ø  Warid
Ø  Nafsu
Ø  Ruh

Ø  Sirri

Bergabunglah bersama kami dalam mengelola perdagangan Nasional.
Alat Semprot
Logam Kuningan
Sparepart Pertanian
"Kami telah siap melayani anda di Seluruh Indonesia"